16 September 2011
Rasa takut, bila diurai ke dalam sikap positif, bisa menghasilkan totalitas sebuah karya. Ine Febriyanti telah membuktikan itu.
Ine Febriyanti sukses menuai tepuk tangan meriah seusai beraksi
selama lebih kurang 90 menit dalam Surti dan Tiga Sawunggaling di Teater
Salihara, Jakarta, Juli silam. Ia tak sekadar bermonolog, tetapi
mewujud ke dalam 10 karakter berbeda. Menjadi Surti, janda yang suaminya
menghilang. Kemudian sebagai Anjani, Baira, Cawir—tiga burung
sawunggaling, motif pada kain mori—yang seolah bisa hidup dan terbang.
Ine dengan cemerlang menjelma menjadi burung sesuai arahan koreografer,
Hartati.
Setelah sehari beristirahat, istri Yudi Datau ini berangkat ke
Yogyakarta memutar film Tuhan Pada Jam 10 Malam. Sebagai sutradara dan
penulis, ia harus berbicara di hadapan berpuluh pasang mata, mungkin
ratusan mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran,
Yogyakarta.
Apalagi aktivitasnya kemudian? Seusai Idulfitri, mendaki gunung sudah
jadi tujuan selanjutnya. Padat sungguh, seolah tak berjeda. Terlebih
berbagai aktivitas berbeda ia lakukan tanpa gentar. Hal itu mengingat
prestasinya cukup menggembirakan, bagaimana dia sesungguhnya? “Aku
sebenarnya penakut, enggak berani tidur sendiri. Tapi, aku orangnya
ekstrem, apa yang bikin aku takut, ya, aku tabrak. Makanya aku naik
gunung.
Atau saat aku harus ke Yogya putar film di UPN, aku tuh enggak berani
ngomong di depan banyak orang. Nyatanya harus ngomong di depan banyak
mahasiswa, aku takut. Tapi, harus aku lakukan,” demikian Ine berterus
terang. Kata-kata yang meluncur tersebut mengingatkan pada sebuah
kutipan seorang kolumnis Amerika Serikat, Eleanor Roosevelt (1884–1962):
“Kamu harus lakukan apa yang kamu pikir tidak bisa melakukannya.”
Melabrak rasa takut akhirnya membawa Ine meresapi berbagai pengalaman
dalam hidupnya. Ia, bahkan, menjadi lebih total setiap melakukan suatu
pekerjaan. Seperti kecintaannya pada lingkungan dan budaya Indonesia
dimanifestasikan secara nyata. (WI/Sandipras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar