Kamis, 29 September 2011

Ine Febriyanti dalam Pertunjukan "Extremities"

Yang Terlewatkan (arsip 2003)
sumber: http://showbiz.liputan6.com/read/219079/undefined
arsip Februari 2003

SUTRADARA dan guru akting Eka D. Sitorus bersama dengan Jakarta Shakespeare Theater Company bakal menggelar pementasan teater bertajuk "Extremities" di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Februari 2003. Aktris Ine Febriyanti dan Rieke Dyah Pitaloka turut dalam pementasan tersebut. Extremities berkisah tentang seorang wanita yang menghukum pemerkosanya dengan cara yang sadis. Ine berperan sebagai Margi, perempuan yang diperkosa. Ine mengaku senang dapat terlibat dalam pementasan ini. Sebab, ia mendapat banyak pelajaran tentang akting. "Di sini aku dapat kesempatan belajar akting lebih dari pada sebelumnya," ujar Ine yang akan berusaha melaksanakan perannya dengan ikhlas dan jujur. Mantan pacar mendiang Galang Rambu Anarki ini juga merasa tak menemui kesulitan saat berakting. Ia mengaku hanya perlu mejadi dirinya sendiri. "Perhatian saya adalah karakterisasi. Saya nggak mikirin atribusi-atribusi. Sebab, Ine yang ditampilkan, bukan Margi. Ia hanya memerankan tokoh Margi. Akting bagi saya adalah menjadi diri sendiri," ujar Eka yang merupakan lulusan dari American Academy of Dramatic Arts, Pasadena ini, menyambung.
 

Ine Febriyanti: Menari

Yang Terlewatkan (arsip 2006)
sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/07/24/PT/mbm.20060724.PT121190.id.html
arsip 24 Juli 2006

Artis Ine Febriyanti, 30 tahun, mengaku puas bukan main setelah menari bersama penulis novel Djenar Mahesa Ayu di Goethe Haus, Jakarta, pekan lalu. Mereka menginterpretasikan puisi Hidup ke dalam karya tari. Puisi ini ada dalam kumpulan puisi Kentut karya Slamet Widodo, yang diluncurkan saat itu.
Pentas tari itu merupakan kemunculan pertama Ine setelah vakum dua tahun sejak melahirkan putri sulungnya, Fa Aisha Nurra Datau. Biarpun lama tak main, Ine justru paling antusias. "Karena sudah lama mengendap, malah jadi kayak kopi kental," ujarnya tergelak.

Enam kali latihan diikuti-nya dengan semangat. Puncaknya, ya, ketika pementasan berlangsung itu. Selama tujuh menit, seluruh energi gerak Ine terkuras. Ia enteng saja meliukkan tubuhnya yang melar hingga berputar 360 derajat. "Rasanya orgasme banget," Ine mengibaratkan.

Hanya satu yang agak disesalinya. Meski kepingin, ia maklum suaminya, Yudi Datau, tak bisa menonton karena harus menjaga dua anaknya, Fa Aisha dan Al Jaan Abdullah Datau. Si kecil baru berumur sembilan bulan. "Dia selalu nggak tega kalau melihat saya," ucapnya. Nggak tega mencubit maksudnya?

Senin, 26 September 2011

'Tuhan' Pada Jam 10 Malam by Ine Febriyanti Trailer






Ketika naluri dan nurani bertemu, sesuatu itu muncul dalam setiap diri, tarik menarik sama kuat...


Cuplikan Pementasan Surti dan Tiga Sawunggaling




 
Surti dan Tiga Sawunggaling
Sutradara: Sitok Srengenge | Naskah: Goenawan Mohamad | Aktor: Ine Febriyanti
Teater Salihara | Jumat-Sabtu, 22-23 Juli 2011, 20:00 WIB

Ini adalah lakon imajis tentang sunyi seorang perempuan. Setelah suaminya ditembak mati serdadu Belanda, Surti mengisi hari-harinya dengan membatik. Salah satu batik kesayangannya bercorak tiga sawunggaling: burung mitologis yang, menurut cerita neneknya, datang dari sebuah benua yang terbelah. Dalam belahan itu ada lahar yang tiap pagi mengeras dan akhirnya menjadi cermin. Burung sawunggaling adalah makhluk cermin. Tiap kali kita memandangnya, wajah, gerak, dan kata-kata kita dipantulkannya kembali.

Melalui tiga sawunggaling yang setia menemaninya itu Surti mengenang Jen, suaminya—seorang komandan gerilya yang ganjil, gemar memburu mimpi. Segala yang dialami Surti, pikiran dan perasaannya, pun seolah terpantul ke arah kita: keraguan tentang yang mistik, kegamangan tentang politik dan perjuangan fisik, juga gairah, amarah, rasa cemburu dan kehilangan yang saling bertautan. Dalam lakon itu, hanya Surti dan sejumlah perabot belaka yang nyata. Selebihnya, benda-benda dan peristiwa, tak lebih dari kenangan atau khayalan.

Pertunjukan ini merupakan kali kedua lakon Surti dan Tiga Sawunggaling dipentaskan di Teater Salihara. Pertunjukan yang pertama telah diadakan pada November 2010 lalu dan mendapat sambutan hangat.

Minggu, 25 September 2011

Ine Febriyanti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ine Febriyanti (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 18 Februari 1976; umur 35 tahun) adalah bintang sinetron dan pemain film Indonesia.
Karier Ine diawali dari dunia model saat dia menjadi juara Covel Girl Majalah Mode pada tahun 1992. Setelah itu, Ine terjun ke dunia seni peran dengan membintangi sinetron Darah Biru. Saat itu Ine harus beradu peran dengan aktor senior Sophan Sophiaan. Setelah itu, ia pun digaet sutradara muda Aria Kusumadewa untuk main dalam telesinema Siluet. Tertarik dengan kemampuan aktingnya, Aria kembali mengajak Ine dalam sinetron Dewi Selebriti.
Tak cukup di sinetron, Aria kembali mengajak Ine untuk berperan di film independen garapannya, Beth. Dalam film yang menggunakan pita seluloid 35 mili ini, Ine dipercaya menjadi peran utama berpasangan dengan Bucek Depp.
Ine juga terlibat dalam penggarapan lakon drama Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg yang dimainkan bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta, di Graha Bhakti Budaya, TMII, pada September 1999. Sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno pun melirik Ine untuk tampil sebagai Miss Kedjora, primadona muda dalam lakon Opera Primadona, di Teater Tanah Airku Taman Mini Indonesia Indah, medio 2000. Penampilan Ine sebagai Miss Kedjora rupanya memikat seorang pejabat Japan Foundation yang akhirnya mengajak Ine beserta tujuh rekan sejawatnya yang berasal dari berbagai kelompok teater di Tanah Air, untuk terlibat dalam sebuah pementasan kolaborasi teater di Jepang berjudul, The Whale on The South Sea. Pementasan itu berlangsung 27 kali, yaitu 23 kali di Tokyo dan empat di Okinawa.
Sempat vakum selama dua tahun setelah melahirkan, Ine kembali lagi dalam pementasan teater berjudul 'Kentut' di Gede Institut di tahun 2006. Pada Hari Pahlawan, 10 November 2006, turut menjadi MC peluncuran Jugun Ianfu Indonesia, "korban perbudakan seks zaman penjajahan Jepang". Ine Febrianti terlibat Pentas Teater "Nyai Ontosoroh", adaptasi Novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer oleh penulis Naskah Faiza Mardzoeki, dengan sutradara Ken Zuraida.

Ine Febriyanti Membintangi Film Laksamana Keumalahayati

Pemeran
  • Ine Febriyanti sebagai Laksamana Keumalahayati.
  • Soultan Saladin sebagai Sultan Al Addin Riayat Syah Al–Qahar.
  • Nizar Zulmi sebagai Sultan Ali Riayat Syah.
  • Lusi Faisol sebagai Cut Limpah.

Laksamana Keumalahayati adalah sebuah film sejarah Indonesia yang dirilis tahun 2007 yang disutradarai oleh H. Alfadin. Adalah Adhyaksa Dault yang memprakarsai pembuatan film ini dan juga sebagai produser dari film yang menggambarkan perjuangan srikandi Aceh ini.

Selain sebagai hiburan, film juga bisa berfungsi menjadi media belajar yang efektif. Untuk itu, Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga meluncurkan film sejarah berjudul Laksamana Keumalahayati

Nama Keumalahayati mungkin terdengar asing bagi banyak orang. Padahal tidak sedikit jasa pahlawan perempuan asal Nanggroe Aceh Darussalam abad ke-16 ini dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Keumalahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Keumalahayati memimpin 100 armada kapal perang dan 2.000 pasukan Inong Balee atau janda-janda pejuang yang tewas saat berperang melawan Belanda. Bahkan, pasukan dia pernah menawan Cornelius de Houtman dan pasukannya pada tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Keumalahayati

Ine Febriyanti dan Sultan Saladin ikut mendukung film yang mengangkat kehidupan laksamana perempuan pertama di dunia ini ketika remaja. Dialog-dialog otentik sejarah ikut dikutip dalam film tersebut. Rencananya, film ini dibuat versi kolosalnya pada Januari 2008. Tapi sampai sekarang belum ada kabarnya, kita tunggu saja. (Wawan/Surabaya)

Ine Febriyanti, Antara Keluarga dan Teater

sumber: http://www.kapanlagi.com/ragam/selebritia/ine-febriyanti-antara-keluarga-dan-teater.html
arsip 17 Februari 2011

Menjadi ibu rumah tangga sekaligus istri, memang sepertinya sudah menjadi tujuan hampir semua wanita di muka bumi ini. Demikian pula halnya dengan Ine Febriyanti. Sejak menikah dengan sutradara Yudi Datau, Ine lebih bannyak menghabiskan waktunya bersama keluarga di rumah. Mengingat dirinya harus menjalani kewajiban layaknya seorang ibu, maka Ine pun tak jarang melakukan aktivitasnya dari rumah. Sebisa mungkin ibu dari 3 anak ini melakoni aktivitasnya dari rumah, demi menghindari hilangnya waktu bersama ketiga buah hatinya. Berhubung Ine lebih banyak di rumah, maka KapanLagi.com menyempatkan untuk berkunjung ke rumahnya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (16/02/2011)





  • Halo Ine, apa kabar? Lagi sibuk apa sekarang?
    Kabar baik. Sekarang ini aku lagi menyelesaikan filmku, sama masih dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga.
  • Mendengar nama Ine Febriyanti, sangat identik dengan film. Kenapa suka dengan film?
    Iya, memang aku itu suka banget sama dunia seni peran, terutama theater. Karena aku merasa bisa mengeksplorasi semua kemampuan aku di situ. Jadi dalam berakting itu harus benar-benar totalitas. Pada dasarnya aku memang lebih menyukai theater, karena menurut aku totalitasnya lebih terasa gitu.
  • Menurut kamu, unsur apa yang paling penting dalam berakting?
    Selain bakat, harus punya insting yang kuat, sehingga bisa melakoni sebuah peran atau karakter dengan sempurna.
  • Kamu juga sangat dekat dengan alam. Kenapa?
    Aku sangat suka dengan alam itu sejak kecil. Dari kecil aku juga udah suka naik gunung. Aku itu orangnya sangat suka sama tantangan. Mungkin karena dari kecil aku itu orangnya tomboy banget kali ya. Pokoknya menyatu dengan alam itu sangat menyenangkan buat aku.
  • Pernah naik gunung sekeluarga?
    Kalau naik gunung sekeluarga sih nggak. Cuma aku sama suami suka ngajak anak-anak jalan-jalan ke tempat camping. Nah, di tempat camping itu biasanya ada tempat tracking atau hiking juga, paling aku ajak mereka ke situ. Nggak mungkinlah kalau sekarang ini aku ngajak mereka naik turun gunung.
  • Bicara soal keluarga, bagaimana kamu menjalani hari-hari kamu di tengah keluarga?
    Aku sangat senang bisa menjalani hari-hari di tengah keluarga. Anak-anak adalah prioritas utama buat aku. Aku juga sekarang ini aktivitasnya nggak bisa seperti dulu lagi. Sebisa mungkin kerjaan aku kerjakan di rumah. Seperti misalnya latihan theater kan bisa di rumah, jadi bisa terus mengontrol anak-anak.
  • Bagaimana kamu bisa mendapatkan suami yang memiliki profesi di bidang yang berkaitan? Cerita sedikit soal pertemuan kamu dengan Yudi.
    Hahahaha...kalau diinget-inget, sebenernya dulu itu aku yang ngelamar Yudi, bukan dia yang ngelamar aku. Jadi gini, awal pertemuan aku dengan Yudi tuh di gunung Cermai. Waktu itu kebetulan dia minta minum sama aku, dan karena dia baru naik, sedangkan aku udah mau turun, dan perbekalan aku juga masih banyak, jadi ya aku kasih aja semua ke dia. Udah gitu, kita sempet lama nggak ketemu, dan suatu hari nggak sengaja aku terlibat kerja bareng dia. Di situ pun aku sama dia biasa-biasa aja, nggak ada sesuatu yang gimana-gimana gitu. Singkat cerita, waktu aku lagi umroh, dia sms aku nanyain kapan pulang. Aku bales smsnya, tapi aku nggak kepikiran kalo dia mau jemput aku di Jakarta. Pas sampe Jakarta, tiba-tiba dia udah ada di airport jemput aku, dan pas saat itu juga aku tiba-tiba ada semacam keyakinan bahwa dialah orangnya. Ya udah deh, pas di mobil aku tanya ke dia, "lo mau nggak jadi suami gue?" Dia langsung jawab mau. Ya udah deh sampai sekarang, hahahaha.
  • Sebagai istri dan ibu, bagaimana memposisikan diri dalam rumah tangga?
    Aku sebisa mungkin selalu berusaha memposisikan diri dengan baik dalam keluarga. Selain sebagai ibu, aku juga terkadang bisa berperan sebagai kepala rumah tangga juga. Yudi kan kadang kalo lagi sibuk banget, suka nggak di rumah, nah di saat-saat seperti itu aku kadang harus bisa menjadi sosok seorang ayah juga.
  • Bagaimana intensitas kamu dengan anak-anak?
    Pastinya kita sering berinteraksi lah, karena kan aku emang lebih banyak di rumah, udah nggak sering keluar. Aku selalu menyediakan waktu kapan pun untuk anak-anak. Aku juga sering menemani mereka mengerjakan PR, atau mengajari mereka tentang pelajaran di sekolah juga. Aku nggak mau kalau sampai mereka kurang perhatian dari aku. 


  • Memiliki 3 anak, berarti ada 3 karakter berbeda. Gimana menghadapinya?
    Kalau Nurra anak aku yang pertama, dia lebih mirip aku. Karakternya pun mirip-mirip aku. Kalo yang kedua si Jan, dia lebih cool ya, lebih kalem tapi dia punya sesuatu yang berbeda. Dia itu nggak suka yang umum, artinya berbeda dengan anak-anak lain yang seusianya. Contohnya, kalo temen-temennya menggambar dinosaurus dengan bentuk normal, nah si Jan menggambar dinosaurusnya dengan versi berbeda, pokoknya sedikit absurd kali ya.
  • Selain pendidikan akademis di sekolah, kamu dan Yudi menerapkan pendidikan seperti apa di rumah?
    Kalau di rumah aku mendidik anak-anak lebih dengan cara yang umum aja. Berbagai pengetahuan aku ajarkan ke mereka, tidak hanya sains, tapi juga pengetahuan umum. Aku punya satu buku, dimana buku ini sangat kaya dengan knowledge-nya, dan uniknya buku ini ada semacam operatornya, bisa ngomong, jadi lebih efektif buat si anak dalam belajar. Selain itu, mengajari anak sebaiknya jangan menggunakan kata-kata yang melarang, tetapi gunakan kata-kata yang mengarahkan atau menganjurkan, jadi lebih lembut. Karena anak-anak pada umumnya kalo dilarang malah justru dilakukan.
  • Apakah kamu dan Yudi mengarahkan anak-anak kalian, untuk mengikuti jejak kalian di dunia perfilman atau sejenisnya?
    Terus terang aku bukanlah seorang psikolog, maka dari itu aku saat ini sedang melakukan observasi terhadap anak-anak aku, untuk melihat apa yang ada dalam diri mereka. Kalo dulu mungkin orang tua kita sering memaksa kita untuk kuliah ini atau kuliah itu, kayak aku dulu disuruh masuk akuntansi sama papaku. Nah, sekarang aku nggak mau kayak gitu, makanya aku coba lakukan observasi terhadap anak-anak.
  • Anak-anak lebih dekat sama ayah atau ibunya?
    Sama deketnya kok. Mereka deket sama aku, deket juga sama Yudi. Yudi itu biasanya dikangenin sama anak-anak, ketika mungkin saat dia lagi sibuk-sibuknya. Karena memang Yudi kalo lagi di rumah itu suka ngajak anak-anak main. Mainnya juga agak-agak yang ekstrim gitu, kaya misalnya kalo pas lagi hujan, Yudi kadang suka ngajakin main hujan, meskipun abis itu pada kena flu. Tapi ya itu kan proses pembelajaran juga, biar tahu.
  • Sekarang kamu sudah jadi sutradara ya? Apa yang membuat tertarik jadi sutradara?Hmm...apa ya, jadi sutradara itu enak, happy, seneng deh pokoknya. Aku bisa bebas mendirect seperti apa yang aku mau. Bebas bereksplorasi deh. Kalo jadi pemain kan, si pemain harus ngikutin sutradara, tapi klo sutradara itu harus diturutin sama semua, terutama pemainnya. Hahahaha.....
  • Tapi masih pingin main atau akting di film lagi?
    Hmm...belum tahu juga sih, tapi kalo theater itu pasti lanjut terus. Cuma kalo di film, ada satu karakter yang harus aku mainkan. Pokoknya kalo bisa sebelum aku mati, aku harus mainin dulu karakter itu, tapi aku nggak bisa bilang. Mudah-mudahan terwujud.
  • Ada rencana mau bikin film lagi atau buku?
    Iya, aku lagi ada planning mau bikin buku puisi sama beberapa temen. Sejauh ini lagi masih dibahas. Sebenernya aku nggak begitu akrab sama yang namanya puisi, tapi karena ini bukunya rame-rame, jadi ya aku ikutan aja. 

Jumat, 23 September 2011

Tentang Ine Dalam Karir

 oleh Wawan dari berbagai sumber

Awal Karir: 
  • Cover Girl Majalah Mode 1992
Sinetron:
  • Darah Biru, 1996, sutradara Sophan Sophiaan
  • Dewi Selebriti, 1996, sutradara Aria Kusumadewa.
  • Sampek Engtay , 2000, sutradara Idries Pulungan.
FTV:
  • Siluet, 1996, sutradara Aria Kusumadewa.
Film:
  • Marinka 1998, sutradara Didi Petet.
  • Beth, 2001, sutradara Aria Kusumadewa.
  • Laksamana Keumalahayati, 2007, sutradara H. Alfadin.
  • Angin (An Essence of Wind), 2010, mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ).
Presenter:
  • Fenomena, Trans TV, 2003
Teater:
  • Miss Julie, September 1999, karya dramawan Swedia Johan August Strindberg, bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta. Di Graha Bhakti Budaya TMII.
  • Opera Primadona, 2000, bersama Teater Koma, disutradarai Nano Riantiarno, sebagai primadona muda Miss Kedjora. Di Teater Tanah Airku TMII.
  • The Whale on The South Sea, 2001, kolaborasi teater Indonesia dengan Teater Rin Ko Gun Jepang. Pementasan 23 kali di Tokyo & 4 di Okinawa.
  • Ekstrimis, Februari 2003, karya dramawan Amerika William Mastrosimone, sutradara Eka D. Sitorus. Di Graha Bhakti Budaya TMII.
  • Kentut, 2006, karya Slamet Widodo, Di Goethe Institut.
  • Nyai Ontosoroh, adaptasi novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, dengan sutradara Ken Zuraida. Dipentaskan di 13 kota mulai Desember 2006 sampai April 2007.
  • Monolog Surti & Tiga Sawunggaling, November 2010 & Juli 2011, karya Goenawan Mohamad dengan sutradara Sitok Srengenge, Di Teater Salihara.
Sutradara:
  • Cinderela, 2002.
  • Documenter series Rumah Khatulistiwa, 2007.
  • Tuhan Pada Jam 10 Malam, 2011.
Kiprah Sosial:
  • Duta ASI, 2006, dinobatkan oleh Kementrian Kesehatan RI.
  • Duta Peduli Kemanusiaan, 2007, dinobatkan oleh Departemen Sosial Indonesia.
  • Penggalangan Dana "Selamatkan" Rumah Soekarno bersama Menpora Adhyaksa Dautl, 2008.
 

Debut Sutradara Film & Pemutaran Perdana Di Jogja

arsip 28 Juli 2011

Ine Febriyanti menjadikan Yogyakarta sebagai tempat pemutaran film perdana yang ia sutradarai. Film “Tuhan Pada Jam 10 Malam itu ditampilkan di FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Selasa (26/7). Yogyakarta juga menjadi tempat shooting film perdana  Ine Febrianti yang berdurasi tayang selama 50 menit ini.
Ine Febrianti menjelaskan Film “Tuhan Pada Jam 10 Malam”  menjadi film serius pertama yang ia diciptakan setelah sebelumnya dirinya lebih banyak membuat film-film pendek  antara lain bekerjasama dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
“Film ini memang keluar dari aspirasi saya yang diangkat sepenuh hati,” kata artis kelahiran Semarang yang juga pemain teater ini.

Film “Tuhan Pada Jam 10 Malam” menjadi mimpi yang terwujud bagi seorang Ine yang mulai menggarap scenario film yang menceritakan eksperimen moral ini selesai Juni 2011.

Ine menjelaskan, eksperimen moral itu bisa disaksikan dari pesan film “Tuhan Pada Jam 10 Malam” yaitu mengenai pemaknaan musuh terbesar manusia ada pada dirinya sendiri. Ada proses dualism jiwa pada manusia.

“Kadang saatnya baik, kadang melakukan hal yang diluar kontrol. Proses perpindahan ini yang harus dikedepankan, khususnya moral yang baik,” terang wanita yang memasuki dunia seni peran dengan menjadi model terlebih dahulu.
(Jogjanews.com/Anam)


Selasa, 20 September 2011

Demi Peran Seorang Surti

sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/08/PT/mbm.20101108.PT135006.id.html
arsip 08 November 2010

JANGAN kaget bila mendapati aktris Ine Febriyanti, 34 tahun, bertubuh kurus dan berkulit gelap. Dia sengaja melakukan diet dan berlatih vikram yoga agar bobotnya susut tujuh kilogram. Kulitnya yang putih pun di-tanning selama beberapa jam dalam sehari agar menjadi cokelat. Semua itu dilakukan demi peran sebagai Surti, perempuan Jawa yang suaminya mati ditembak Belanda.
Surti adalah monolog karya Goenawan Mohamad yang akan dipentaskan di Teater Salihara, 12-13 November ini. Sepeninggal suaminya, Surti mengisi hari dengan membatik. Corak batik kesayangannya adalah tiga burung sawunggaling. Melalui sawunggaling, Surti mengenang Jen, suaminya.
Demi peran itu pula Ine melakukan riset sejarah tahun 1940-an, sesuai dengan cerita. "Monolog ini kaya akan sejarah dan informasi," ujarnya. Setelah tujuh tahun tak berakting, dia mengaku senang mendapat peran ini. "Benar-benar mengobati kerinduan saya akan dunia seni peran," dia menambahkan. Beruntung pula suaminya tak memprotes ihwal tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang menjadi gelap. "Hal seperti ini sudah biasa dalam seni peran," katanya.   

Surti dan Tiga Sawunggaling: “Harus Saya Selesaikan”

Review PUTU WIJAYA
sumber: http://warisanindonesia.com/2011/09/surti-tiga-sawunggaling-harus-saya-selesaikan/
arsip 7 September 2011

“Ini saya harus selesaikan. Harus selesaikan,” kata Surti yang dimainkan oleh Ine Febriyanti pada akhir lakon Surti dan Tiga Sawunggaling di Teater Salihara, Jakarta, akhir Juli lalu. Pementasan ulang monolog, yang masih dikunjungi banyak penonton ini, disutradarai oleh Sitok Srengenge.

Dihadapkan pada ruang serbaputih dengan tiga kain mori putih berjuntai di atas panggung, ada kursi taman gandeng dan kerangka keranda yang tegak bagai menara serta selembar mori yang sedang dilukis dengan malam. Kemudian timbul-tenggelam dalam cahaya suram, terlihat Surti menari.

Setelah itu, ia duduk di kursi gandeng dan mulai bertutur langsung kepada penonton bahwa ia mengalami hal yang sangat sulit, yang hanya bisa ia ceritakan saat sendiri seperti itu. Jen, suaminya, pemimpin gerilya yang suka memburu mimpi, ditembak tanggal 14 bulan puasa di jidatnya. Dia, oleh orang bertopeng, dituduh komunis. Para orangtua memutuskan untuk tidak memandikan tubuhnya dan membiarkan saja lubang berleleran darah beku di keningnya itu sebagai penanda perbuatannya. Jen merebut Surti dari kekasihnya yang kemudian terlebih dulu mati tertembak dan meninggalkan sepucuk pistol agar Jen tak hanya bermimpi. Surti sangat menyesali perbuatannya, tetapi tak dapat mengingkari bahwa sosok Jen telah menyedotnya sehingga ia penasaran dan meninggalkan pacarnya.

Tetapi, ini bukan kisah cinta. Seorang Goenawan Mohamad (GM), sang penulis naskah, tidak akan masuk ke wilayah itu. Ini adalah puisi panjang tentang tiga ekor sawunggaling yang dilukis Surti di kain morinya. Yang satu bernama Anjani, lainnya Bahir dan Cawir. Ketiga burung itu gerah di kain mori yang masih kaku, lalu ke luar jendela dan menjadi saksi pertempuran gerilya menentang Belanda, masing-masing membawa ceritanya sendiri.

Sutradara memvisualkan dialog burung-burung itu dengan koreografi. Ine Febriyanti, yang pernah kita saksikan main gemilang dalam lakon Miss Julie, beberapa tahun lalu, di Graha Bhakti Budaya TIM, menarikan gerak-gerik burung itu sambil berbicara. Tak ada salahnya bila visualisasi dipakai untuk memperkaya sebuah pembeberan kata-kata di lakon, ke atas panggung. Hanya saja, kata-kata Goenawan sudah begitu kuat. Bahkan, selorohnya pun sudah terasa puitis. Menambahkan asesoris pada kata-kata itu memerlukan kecermatan agar tidak jadi kenes, tetapi memang bukan tak boleh. Dengan kreativitas tak ada yang bisa dilarang di atas pentas.

GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad—bukan saja penyair tetapi juga esais terkemuka. Ia bahkan melontarkan filsafat dalam “bersin”-nya tanpa ia sadari. Seluruh Surti malam itu terasa sebagai peragaan puisi dan esai tentang rasa sunyi. Penonton diguyur oleh pikiran-pikiran tajam yang kadang berbelok liar, mistis, tetapi juga spiritual dengan napas kemanusiaan yang kental. Di sana-sini menggelepar kata-kata “bijak” yang tidak bersinar karena didandani, tetapi karena pengertiannya yang menyadarkan atau menggerus kita pada kisaran kesadaran baru. (WI/Putu Widjaya) 

Ine Berdamai dengan Rasa Takut

sumber: http://warisanindonesia.com/2011/09/ine-berdamai-dengan-rasa-takut/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=ine-berdamai-dengan-rasa-takut
 16 September 2011

Rasa takut, bila diurai ke dalam sikap positif, bisa menghasilkan totalitas sebuah karya. Ine Febriyanti telah membuktikan itu.

Ine Febriyanti sukses menuai tepuk tangan meriah seusai beraksi selama lebih kurang 90 menit dalam Surti dan Tiga Sawunggaling di Teater Salihara, Jakarta, Juli silam. Ia tak sekadar bermonolog, tetapi mewujud ke dalam 10 karakter berbeda. Menjadi Surti, janda yang suaminya menghilang. Kemudian sebagai Anjani, Baira, Cawir—tiga burung sawunggaling, motif pada kain mori—yang seolah bisa hidup dan terbang. Ine dengan cemerlang menjelma menjadi burung sesuai arahan koreografer, Hartati.
Setelah sehari beristirahat, istri Yudi Datau ini berangkat ke Yogyakarta memutar film Tuhan Pada Jam 10 Malam. Sebagai sutradara dan penulis, ia harus berbicara di hadapan berpuluh pasang mata, mungkin ratusan mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta.
Apalagi aktivitasnya kemudian? Seusai Idulfitri, mendaki gunung sudah jadi tujuan selanjutnya. Padat sungguh, seolah tak berjeda. Terlebih berbagai aktivitas berbeda ia lakukan tanpa gentar. Hal itu mengingat prestasinya cukup menggembirakan, bagaimana dia sesungguhnya? “Aku sebenarnya penakut, enggak berani tidur sendiri. Tapi, aku orangnya ekstrem, apa yang bikin aku takut, ya, aku tabrak. Makanya aku naik gunung.
Atau saat aku harus ke Yogya putar film di UPN, aku tuh enggak berani ngomong di depan banyak orang. Nyatanya harus ngomong di depan banyak mahasiswa, aku takut. Tapi, harus aku lakukan,” demikian Ine berterus terang. Kata-kata yang meluncur tersebut mengingatkan pada sebuah kutipan seorang kolumnis Amerika Serikat, Eleanor Roosevelt (1884–1962): “Kamu harus lakukan apa yang kamu pikir tidak bisa melakukannya.”
Melabrak rasa takut akhirnya membawa Ine meresapi berbagai pengalaman dalam hidupnya. Ia, bahkan, menjadi lebih total setiap melakukan suatu pekerjaan. Seperti kecintaannya pada lingkungan dan budaya Indonesia dimanifestasikan secara nyata. (WI/Sandipras)

Senin, 19 September 2011

Ine Febriyanti Menantang di Film Pendek

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/profil/2010/03/12/brk,20100312-232045,id.html 

arsip 12 Maret 2010


TEMPO Interaktif, Berburu lokasi syuting menimbulkan sensasi buat Ine Febriyanti. Aktris kelahiran Semarang, 18 Februari 1976, itu memang tengah sibuk berprofesi sebagai sutradara film pendek berjudul Tuhan pada Pukul Sepuluh Malam. Sudah dua bulan Ine berada di Yogyakarta, yang dianggapnya sebagai sumber inspirasi demi kesuksesan film itu. "Saya sibuk berburu dan mencari lokasi syuting. Castingpemain di sini," ujarnya, Sabtu lalu.
Ine sempat beberapa kali bongkar-pasang pemain. "Yang ini bikin saya pusing," tuturnya. Ia menjelaskan, beberapa pemainnya beralasan mengundurkan diri, karena tak siap dengan tokoh yang diperankan, karena dianggap terlalu sakit atau vulgar. "Padahal saya cocok dengan karakternya."
Setelah mengubek-ubek Kota Gudeg, disepakati bahwa tokoh sentral di filmnya berasal dari Kota Solo. "Saya terbang Jakarta-Solo. Hanya dua hari saya temukan dan menjajal aktingnya, langsung sreg," kata Ine, yang sengaja tidak mencari figur terkenal. "Kalau pemainnya belum jadi, justru menjadi tantangan bagi saya sebagai sutradara baru. Artis yang sudah jadi kurang menantang," tuturnya.
Ibu tiga anak ini menuturkan, film cerita pendeknya mengangkat sebuah perjalanan tentang perlawanan seseorang terhadap sisi lain dalam dirinya. "Ketika moral dan naluri bertemu. Sesuatu itu selalu muncul dalam setiap diri. Tarik-menarik sama kuat," ucapnya. Rencananya, film pendek ini dikompilasikan dengan tiga sutradara lain, seperti Aria Kusumadewa, Leony Fitri, dan Icang. "Empat film ini akan diputar di kampus-kampus di seluruh Indonesia," tuturnya. | BERNADA RURIT (YOGYAKARTA) 

Ine Febriyanti Sutradarai Film Pendek


Aktris dan pemain teater, Ine Febriyanti menjadi sutradara film pendek berjudul Tuhan pada pukul 10 malam. Mengambil lokasi di Yogyakarta, perempuan kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini syuting  mulai 6-12 maret lalu. Ibu dari Fa Aisha Nurra Datau (6), Zyen Abdullah Datau (4,5), dan Amanina Datau (2), memilih lokasi syuting di Kotagede, Benteng Vredeburg, dan Sleman yang begitu memikat hatinya. 

Tuhan pada jam 10 malam adalah sebuah perjalanan tentang perlawanan seseorang terhadap sisi lain dalam dirinya. Ine bercerita ketika seseorang memiliki kebajikan, maka ia berkecenderungan memiliki potensi keburukan yang seimbang dengan kebajikannya.

"Ketika moral dan naluri bertemu. Sesuatu itu selalu muncul dalam setiap diri. Tarik menarik yang sama kuatnya," katanya.

Dalam fim ini, dia mengangkat  tokoh Marwansangkumbang, seorang guru moral yang diteladani murid dan warga di sekitar ia berada. Kesantunan dan keteladanannya ternyata membuat tarikan dalam dirinya, berupa kemasgulan dan kebengisan.

"Marwan dan Ego bertarung. Moral dan naluri bertemu. Bertarung saling menantang dan bertahan. Meskipun benar, ternyata, kebenaran sendiri tidak selalu pasti dalam memenangkan pertarungan," katanya.

Diproduseri oleh sang suami, Yudi Datau, film pendek ini melibatkan art director Kekev Marlove yang mendapat piala FFI 2009. Ine sama sekali tak menampilkan peran tokoh terkenal.

"Pemain ada yang masih baru sama sekali, sebagian pemain teater, ada yang sudah beberapa kali main film independen. Jadi tidak ada yang pemain terkenal," katanya. 

Dalam mewujudkan cerita ini ke dalam sebuah film pendek, saya ingin melibatkan seluruh komponen pendukung film ini sebagai kesatuan orkestra yang harmonis. Setiap komponen berhak memiliki ruang ekspresinya, sejauh tetap dalam batasan harmonisasi.

Warna, karakter penokohan, dan setting adalah bagian terpenting dalam film ini, yang juga saya percayakan seutuhnya pada ruang gerak penata kamera maupun cahaya, penata artistic, bahkan bagi para aktor untuk memunculkan kemungkinan kemungkinan eksplorasinya untuk menyampaikan pesan dalam cerita ini.

Film Tuhan pada jam 10 malam bercerita tentang Marwansangkumbang, seorang guru moral yang diteladani murid dan warga di sekitar ia berada. Kesantunan dan keteladanannya ternyata membuat tarikan dalam dirinya, berupa kemasgulan dan kebengisan. Marwan dan Ego bertarung. Moral dan naluri bertemu. Bertarung saling menantang dan bertahan. Meskipun benar, ternyata, kebenaran sendiri tidak selalu pasti dalam memenangkan pertarungan.

Hidup Sehat Ala Ine Febriyanti



dari Kapanlagi.com Rabu, 16 Februari 2011 22:15 

Kapanlagi.com - Pola hidup yang sehat tentu saja menjadi keinginan semua orang, dan banyak pula cara agar menjaga kondisi fisik tetap fit dan stabil. Prinsip ini jugalah yang dijalani oleh artis cantik Ine Febriyanti. Istri dari Yudi Datau ini tengah menekuni yoga, demi menjaga kondisi tubuhnya.
Dan yoga yang dijalani Ine memang bukan yoga biasa. Ine sedang menekuni apa yang disebut 'bikram yoga'.
"Aku sebetulnya sudah ikut yoga sejak 2004, waktu lahiran anak kedua aku. Waktu itu berat badanku sempat naik sampai 80 kg setelah melahirkan. Nah, sejak saat itu aku rajin yoga. Tapi yoga yang sekarang aku jalanin ini adalah bikram yoga. Itu salah satu jenis yoga, di mana kita melakukannya di dalam ruangan dengan suhu 42 derajat celcius. Kebayang kan gimana rasanya?" cetus Ine saat disambangi di rumahnya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (16/2).
Awalnya Ine sempat merasakan panas yang luar biasa ketika pertama kali mengikuti kelas bikram yoga. Namun, setelah itu Ine merasakan badannya menjadi segar.
"Gerakan nya sih kurang lebih hampir sama kaya yoga biasa ya, cuma bedanya ini tuh di dalem ruangan yang suhunya 42 derajat. Tapi bener deh, abis itu badan tuh rasanya fresh banget, segerlah pokoknya. Terus saat ini tuh aku lagi ambil yang thirty days challenge, jadi 30 hari full dan nggak boleh bolong," ujar Ine bersemangat.
Ine pun menambahkan bahwa pilihannya untuk menekuni yoga ini karena tak lepas dari dirinya yang sangat peduli akan kesehatan. Mengingat semakin bertambahnya usia, maka semakin menurun pula daya tahan tubuh.
"Aku juga sering lho melakukan meditasi di rumah. Biasanya kalo lagi meditasi, aku ngambil waktu sekitar 45 menitan, dan itu efeknya sangat gede banget. Kalo lagi merasakan sakit, biasanya lewat meditasi sakitnya hilang," ujarnya dengan senyuman manis.   (kpl/ben/bun)