Selasa, 11 Oktober 2011

Ine Febriyanti : Gairah Seni dan Berbagi

sumber: http://rumahpuan.com/puanofmonth/detail/14

Ine Febriyanti begitu mencintai seni. Baginya, seni adalah wadah aktualisasi diri. Namun menjadi bagian dari pekerja seni bukan sesuatu yang ia impikan dari kecil. Proses perjalanan hiduplah yang mengantarkan ibu tiga anak ini menjadi pekerja seni. Begitu ia mengetahui bahwa dirinya memiliki gairah luar biasa ketika bermain di atas panggung dan menyutradarai sebuah film, di saat itulah ia telah menemukan dunianya. Lantas, dari mana Ine mempelajari seni teater dan seni penyutradaraan?

“Saya bukan orang yang menyukai belajar secara akademik. Namun bagi saya, teater dan film adalah media yang tepat bagi saya untuk belajar. Tentu saja harapan terbesar saya di setiap apa pun yang saya kerjakan adalah bisa memberikan manfaat dan inspirasi sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya. Semoga saja hal itu sungguh terwujud,” jawabnya ramah.

Karier wanita kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini diawali dari ajang Covel Girl Majalah Mode pada tahun 1992. Ine terjun ke dunia seni peran dengan membintangi sinetron Darah Biru dimana ia beradu akting dengan aktor senior Sophan Sophiaan. Setelah itu, ia digaet sutradara muda Aria Kusumadewa untuk bermain dalam telesinema Siluet. Merasa Ine memiliki talenta, Aria kembali mengajaknya berakting dalam sinetron Dewi Selebriti. Aria bahkan mengajak Ine untuk berperan di film independen garapannya, Beth. Ine dipercaya menjadi peran utama dan berpasangan dengan Bucek Depp.

Di dunia teater tanah air, keterlibatan Ine pertama kali adalah saat bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta menggarap lakon drama Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg, yang dimainkan di Graha Bhakti Budaya, TMII, pada September 1999. Sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno, pun melirik Ine untuk tampil sebagai Miss Kedjora, primadona muda dalam lakon Opera Primadona, di Teater Tanah Airku Taman Mini Indonesia Indah, medio 2000. Penampilan Ine sebagai Miss Kedjora rupanya memikat seorang pejabat Japan Foundation yang akhirnya mengajak Ine beserta tujuh rekan sejawatnya yang berasal dari berbagai kelompok teater di Tanah Air, untuk terlibat dalam sebuah pementasan kolaborasi teater di Jepang yang berjudul The Whale on The South Sea. Pementasan itu berlangsung 27 kali, yaitu 23 kali di Tokyo dan empat di Okinawa. Saat itulah banyak ilmu tentang teater dan panggung yang ia serap dan pelajari. Dalam dunia penyutradaraan, pemeran Nyai Ontosoroh dalam drama teater arahan Ken Zuraida dengan judul yang sama ini baru saja merilis film independen berdurasi 50 menit berjudul Tuhan Pada Jam 10 Malam. Film ini sedang dibawa berkeliling daerah hingga Desember mendatang. Dalam waktu dekat Ine juga akan memproduksi sebuah film pendek, bekerja sama dengan KPK.

Apakah Ine berpikir ingin membagi ilmu seni teater? “Tentu. Saya selalu ingin membangun komunitas seni di lingkungan rumah. Sejauh ini, saya baru bisa memberikan kontribusi berupa tempat untuk sejumlah warga yang ingin berkumpul dan berdiskusi, mengaji, dan berlatih rebab. Dalam waktu dekat, Insya Allah saya ingin membuat rumah dongeng bagi anak-anak sekitar rumah, khususnya buat mereka yang tidak mampu sekolah. Mimpi saya juga ingin menumbuhkan jiwa wirausaha bagi anak-anak dhuafa agar mereka kelak mampu mandiri secara finansial.

Bagaimana pandangan Ine mengenai peran seni dalam pembentukan karakter bangsa? “Saya merasa miris melihat perkembangan karakter bangsa kita yang memprihatinkan. Budaya kita sudah kehilangan jati dirinya. Korupsi menjadi hal yang wajar, sementara orang jujur difitnah sampai binasa. Kemajuan sebuah bangsa setahu saya bisa dilihat dari bagaimana masyarakatnya mengapresiasi seni. Begitu sebuah bangsa memiliki karakter akhlak yang baik, maka penghargaan terhadap budaya akan lebih baik. Ya, kita sedang krisis moral. Saya belum bisa menjabarkan korelasi nyata dengan dunia film dan teater yang selama ini saya tekuni. Bagi saya, sejauh ini teater dan film baru dalam tahap apresiasi dan wadah ekspresi. Namun, saya berharap ke depannya apa pun yang saya lakukan bisa menjadi pengaruh yang baik untuk bangsa Indonesia,” tuturnya.

Lantas, apa prioritas hidup penggemar olahraga naik gunung yang baru saja mementaskan monolog Surti dan Tiga Sawunggaling pada bulan Juli lalu?  “Saya ingin mengantarkan ketiga anak saya menjadi orang-orang yang bahagia, berkarakter, dan berakhlak mulia,” tutupnya. Semoga terwujud. [Ciptanti Putri]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar