sumber: http://rumahpuan.com/puanofmonth/detail/14
Ine Febriyanti begitu mencintai seni. Baginya, seni adalah wadah
aktualisasi diri. Namun menjadi bagian dari pekerja seni bukan sesuatu
yang ia impikan dari kecil. Proses perjalanan hiduplah yang mengantarkan
ibu tiga anak ini menjadi pekerja seni. Begitu ia mengetahui bahwa
dirinya memiliki gairah luar biasa ketika bermain di atas panggung dan
menyutradarai sebuah film, di saat itulah ia telah menemukan dunianya.
Lantas, dari mana Ine mempelajari seni teater dan seni penyutradaraan?
“Saya bukan orang yang menyukai belajar secara akademik. Namun bagi
saya, teater dan film adalah media yang tepat bagi saya untuk belajar.
Tentu saja harapan terbesar saya di setiap apa pun yang saya kerjakan
adalah bisa memberikan manfaat dan inspirasi sebesar-besarnya,
sebanyak-banyaknya. Semoga saja hal itu sungguh terwujud,” jawabnya
ramah.
Karier wanita kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini diawali dari
ajang Covel Girl Majalah Mode pada tahun 1992. Ine terjun ke dunia seni
peran dengan membintangi sinetron Darah Biru dimana ia beradu
akting dengan aktor senior Sophan Sophiaan. Setelah itu, ia digaet
sutradara muda Aria Kusumadewa untuk bermain dalam telesinema Siluet. Merasa Ine memiliki talenta, Aria kembali mengajaknya berakting dalam sinetron Dewi Selebriti. Aria bahkan mengajak Ine untuk berperan di film independen garapannya, Beth. Ine dipercaya menjadi peran utama dan berpasangan dengan Bucek Depp.
Di dunia teater tanah air, keterlibatan Ine pertama kali adalah saat
bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta menggarap lakon drama Miss Julie karya
dramawan Swedia, Johan August Strindberg, yang dimainkan di Graha
Bhakti Budaya, TMII, pada September 1999. Sutradara Teater Koma, Nano
Riantiarno, pun melirik Ine untuk tampil sebagai Miss Kedjora, primadona
muda dalam lakon Opera Primadona, di Teater Tanah Airku Taman
Mini Indonesia Indah, medio 2000. Penampilan Ine sebagai Miss Kedjora
rupanya memikat seorang pejabat Japan Foundation yang akhirnya mengajak
Ine beserta tujuh rekan sejawatnya yang berasal dari berbagai kelompok
teater di Tanah Air, untuk terlibat dalam sebuah pementasan kolaborasi
teater di Jepang yang berjudul The Whale on The South Sea.
Pementasan itu berlangsung 27 kali, yaitu 23 kali di Tokyo dan empat
di Okinawa. Saat itulah banyak ilmu tentang teater dan panggung yang ia
serap dan pelajari. Dalam dunia penyutradaraan, pemeran Nyai Ontosoroh
dalam drama teater arahan Ken Zuraida dengan judul yang sama ini baru
saja merilis film independen berdurasi 50 menit berjudul Tuhan Pada Jam 10 Malam.
Film ini sedang dibawa berkeliling daerah hingga Desember mendatang.
Dalam waktu dekat Ine juga akan memproduksi sebuah film pendek, bekerja
sama dengan KPK.
Apakah Ine berpikir ingin membagi ilmu seni teater? “Tentu. Saya
selalu ingin membangun komunitas seni di lingkungan rumah. Sejauh ini,
saya baru bisa memberikan kontribusi berupa tempat untuk sejumlah warga
yang ingin berkumpul dan berdiskusi, mengaji, dan berlatih rebab. Dalam
waktu dekat, Insya Allah saya ingin membuat rumah dongeng bagi anak-anak
sekitar rumah, khususnya buat mereka yang tidak mampu sekolah. Mimpi
saya juga ingin menumbuhkan jiwa wirausaha bagi anak-anak dhuafa agar
mereka kelak mampu mandiri secara finansial.
Bagaimana pandangan Ine mengenai peran seni dalam pembentukan
karakter bangsa? “Saya merasa miris melihat perkembangan karakter bangsa
kita yang memprihatinkan. Budaya kita sudah kehilangan jati dirinya.
Korupsi menjadi hal yang wajar, sementara orang jujur difitnah sampai
binasa. Kemajuan sebuah bangsa setahu saya bisa dilihat dari bagaimana
masyarakatnya mengapresiasi seni. Begitu sebuah bangsa memiliki karakter
akhlak yang baik, maka penghargaan terhadap budaya akan lebih baik. Ya,
kita sedang krisis moral. Saya belum bisa menjabarkan korelasi nyata
dengan dunia film dan teater yang selama ini saya tekuni. Bagi saya,
sejauh ini teater dan film baru dalam tahap apresiasi dan wadah
ekspresi. Namun, saya berharap ke depannya apa pun yang saya lakukan
bisa menjadi pengaruh yang baik untuk bangsa Indonesia,” tuturnya.
Lantas, apa prioritas hidup penggemar olahraga naik gunung yang baru saja mementaskan monolog Surti dan Tiga Sawunggaling
pada bulan Juli lalu? “Saya ingin mengantarkan ketiga anak saya
menjadi orang-orang yang bahagia, berkarakter, dan berakhlak mulia,”
tutupnya. Semoga terwujud. [Ciptanti Putri]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar