Kamis, 27 Oktober 2011

Tiga Film Pendek Cermin Indonesia

sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/24/163815/Tiga-Film-Pendek-Cermin-Indonesia


TIGA film pendek yang diputar di Unika Soegijapranata Sabtu (22/10), seolah menjadi cermin negeri ini. Secara khusus, film-film tersebut, yakni Tuhan pada Jam 10 Malam, Cendol, dan Salah,  mengulas peristiwa tragis yang pernah terjadi di negeri ini. Ironi, tetapi memang sungguh terjadi, bahkan mungkin berulang-ulang.

Film Tuhan pada Jam 10 Malam karya Ine Febriyanti misalnya, bercerita tentang sosok guru yang ternyata bisa saja berbuat kesalahan. Guru bernama Marwansikumbang (diperankan dengan apik oleh aktor Hanindawan), yang selalu mengingatkan muridnya akan arti penting moral, ternyata justru berbuat bejat pada salah satu muridnya yang bahkan telah dianggap anak sendiri.

Sementara Cendol berkisah tentang Awan, pedagang cendol di Jakarta. Bersama istri dan anak tunggalnya, dia harus hidup dibawah tekanan ekonomi. Film pertama besutan Leony Vitria Hartanti itu lantas mengungkap solusi yang akhir-akhir ini kerap dipilih banyak pihak yang dalam kondisi sama, bunuh diri.

Satu lagi film yang diputar di Gedung Thomas Aquinas lantai 3 itu berjudul Salah karya Rizal Rakhmandar. Berbeda dari dua film sebelumnya, Rizal lebih suka menyoroti persoalan negeri ini dengan bercanda. Dia mengusung isu terorisme yang telah mencekam seluruh masyarakat sehingga sering muncul salah duga.

Kaca Mata Tuhan
Pimpinan Tits Film Workshop Aria Kusumadewa saat sesi diskusi setelah pemutaran film mengatakan, ketiga film yang dibungkus dalam judul Kaca Mata Tuhan itu merupakan produk fisik dari workshop Cara Asik Bikin Film di Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Film-film tersebut berbicara mengenai berbagai realitas dan bagaimana manusia menanggapinya.

Ketiga sutradara film itu juga hadir pada diskusi kemarin. Mereka berbagi pengalaman saat membuat film itu dan mengapa mereka melakukannya.

“Film saya bermula dari sebuah cerpen. Kemudian, cerita itu saya kembangkan sendiri menjadi screenplay. Judulnya sendiri berasal dari penyair Afrizal Malna,” ungkap Ine.

Sementara Leony mengakui, Cendol merupakan karya pertamanya sebagai sutradara. Mantan penyanyi cilik yang tergabung dalam Trio Kwek-kwek itu berharap mendapat masukan dari berbagai pihak lewat kegiatan pemutaran film dan diskusi di kampus-kampus. Selain di Unika, ketiga film tersebut juga diputar di Unnes kemarin (23/10). (Adhitia Armitrianto-61)

Diskusi & Pemutaran Film Bersama Ine Febriyanti & Tits Film Workshop

sumber: Universitas Negeri Semarang

DOKUMENTASI JURUSAN BSI FBS UNNES

Dihelat Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) FBS Unnes Semarang bersama Himpunan Mahasiswa BSI, Tits Film Workshop, Komite Jurnalis untuk Pendidikan, dan Mitra Edukatifa.

Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore itu didahului pemutaran tiga film dan dilanjutkan diskusi. Tiga film yang diputar adalah Tuhan pada Jam 10 Malam, Cendol, dan Salah.

Hadir sebagai pembicara pemimpin Tits Film dan ketiga sutradara yang filmnya yang diputar, Aria Kusumadewa, Ine Febriyanti,  Leony Vitria Hartanti, dan Rizal Rakhmandar. Unnes menjadi tempat terakhir kunjungan di Semarang setelah sehari sebelumnya Aria Kusumadewa dan kawan-kawan tampil pada acara serupa di kampus Unika Soegijapranata.

Diskusi yang dipandu Achiar M Permana (redaktur Warta Jateng) gayeng membahas produksi dan pemberdayaan film indie. “Film indie membutuhkan perencanan matang dan detail sehingga membutuhkan persiapan sebelum syuting yang agak lama,” ujar Ine Febriyanti.

Ine mengaku membutuhkan satu bulan untuk persiapan film Tuhan pada Jam 10 Malam dan empat hari untuk syuting film itu. Film itu sendiri menceritakan dualisme jiwa pada manusia. Kadang baik, kadang melakukan hal yang di luar kontrol. Perpindahan ini yang dikedepankan, khususnya moral yang baik.

Lebih Luas
“Film indi terbukti mampu memberi ruang gerak yang lebih luas untuk mewujudkan kreativitas sebagai pembuat film,” ungkap Rizal Rakhmandar atau yang akrab dipanggil Icang.

Apa pula kata Arya? “Membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Sebenarnya kebijakan para pemilik bioskop di Indonesia sangat merugikan para pembuat film dengan tidak ada perjanjian tertulis antara pemilik film dan bioskop. Selain itu, sponsor-sponsor film kerap berbuat semena-mena untuk meminta memotong adegan film sehingga cerita menjadi tidak alami. Oleh karena itu, kita memilih jalan film indie dan memilih sasaran mahasiswa dengan diputar di kampus-kampus,” ujar Arya Kusumadewa, pimpinan Tits Film Workshop, saat mengisi sarasehan Melawan Layar Lebar dengan Indie di Oasis CafĂ© (22/10) pada malam hari sebelum acara ini digelar, sebagai rangkaian acara workshop dan diskusi film indie tersebut.

Diskusi yang berlangsung dua jam ini diharapkan mampu membuka wacana para mahasiswa tentang potensi film indie untuk berkembang dengan pembuatan film yang profesional dan tidak asal-asalan. Cerita yang dihadirkan dari ketiga film itu diharapkan memberi pengalaman dan membuka pemikiran yang lebih luas bagi penonton, yaitu mahasiswa. | Suseno|Unnes|

Selasa, 11 Oktober 2011

Ine Febriyanti : Gairah Seni dan Berbagi

sumber: http://rumahpuan.com/puanofmonth/detail/14

Ine Febriyanti begitu mencintai seni. Baginya, seni adalah wadah aktualisasi diri. Namun menjadi bagian dari pekerja seni bukan sesuatu yang ia impikan dari kecil. Proses perjalanan hiduplah yang mengantarkan ibu tiga anak ini menjadi pekerja seni. Begitu ia mengetahui bahwa dirinya memiliki gairah luar biasa ketika bermain di atas panggung dan menyutradarai sebuah film, di saat itulah ia telah menemukan dunianya. Lantas, dari mana Ine mempelajari seni teater dan seni penyutradaraan?

“Saya bukan orang yang menyukai belajar secara akademik. Namun bagi saya, teater dan film adalah media yang tepat bagi saya untuk belajar. Tentu saja harapan terbesar saya di setiap apa pun yang saya kerjakan adalah bisa memberikan manfaat dan inspirasi sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya. Semoga saja hal itu sungguh terwujud,” jawabnya ramah.

Karier wanita kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini diawali dari ajang Covel Girl Majalah Mode pada tahun 1992. Ine terjun ke dunia seni peran dengan membintangi sinetron Darah Biru dimana ia beradu akting dengan aktor senior Sophan Sophiaan. Setelah itu, ia digaet sutradara muda Aria Kusumadewa untuk bermain dalam telesinema Siluet. Merasa Ine memiliki talenta, Aria kembali mengajaknya berakting dalam sinetron Dewi Selebriti. Aria bahkan mengajak Ine untuk berperan di film independen garapannya, Beth. Ine dipercaya menjadi peran utama dan berpasangan dengan Bucek Depp.

Di dunia teater tanah air, keterlibatan Ine pertama kali adalah saat bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta menggarap lakon drama Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg, yang dimainkan di Graha Bhakti Budaya, TMII, pada September 1999. Sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno, pun melirik Ine untuk tampil sebagai Miss Kedjora, primadona muda dalam lakon Opera Primadona, di Teater Tanah Airku Taman Mini Indonesia Indah, medio 2000. Penampilan Ine sebagai Miss Kedjora rupanya memikat seorang pejabat Japan Foundation yang akhirnya mengajak Ine beserta tujuh rekan sejawatnya yang berasal dari berbagai kelompok teater di Tanah Air, untuk terlibat dalam sebuah pementasan kolaborasi teater di Jepang yang berjudul The Whale on The South Sea. Pementasan itu berlangsung 27 kali, yaitu 23 kali di Tokyo dan empat di Okinawa. Saat itulah banyak ilmu tentang teater dan panggung yang ia serap dan pelajari. Dalam dunia penyutradaraan, pemeran Nyai Ontosoroh dalam drama teater arahan Ken Zuraida dengan judul yang sama ini baru saja merilis film independen berdurasi 50 menit berjudul Tuhan Pada Jam 10 Malam. Film ini sedang dibawa berkeliling daerah hingga Desember mendatang. Dalam waktu dekat Ine juga akan memproduksi sebuah film pendek, bekerja sama dengan KPK.

Apakah Ine berpikir ingin membagi ilmu seni teater? “Tentu. Saya selalu ingin membangun komunitas seni di lingkungan rumah. Sejauh ini, saya baru bisa memberikan kontribusi berupa tempat untuk sejumlah warga yang ingin berkumpul dan berdiskusi, mengaji, dan berlatih rebab. Dalam waktu dekat, Insya Allah saya ingin membuat rumah dongeng bagi anak-anak sekitar rumah, khususnya buat mereka yang tidak mampu sekolah. Mimpi saya juga ingin menumbuhkan jiwa wirausaha bagi anak-anak dhuafa agar mereka kelak mampu mandiri secara finansial.

Bagaimana pandangan Ine mengenai peran seni dalam pembentukan karakter bangsa? “Saya merasa miris melihat perkembangan karakter bangsa kita yang memprihatinkan. Budaya kita sudah kehilangan jati dirinya. Korupsi menjadi hal yang wajar, sementara orang jujur difitnah sampai binasa. Kemajuan sebuah bangsa setahu saya bisa dilihat dari bagaimana masyarakatnya mengapresiasi seni. Begitu sebuah bangsa memiliki karakter akhlak yang baik, maka penghargaan terhadap budaya akan lebih baik. Ya, kita sedang krisis moral. Saya belum bisa menjabarkan korelasi nyata dengan dunia film dan teater yang selama ini saya tekuni. Bagi saya, sejauh ini teater dan film baru dalam tahap apresiasi dan wadah ekspresi. Namun, saya berharap ke depannya apa pun yang saya lakukan bisa menjadi pengaruh yang baik untuk bangsa Indonesia,” tuturnya.

Lantas, apa prioritas hidup penggemar olahraga naik gunung yang baru saja mementaskan monolog Surti dan Tiga Sawunggaling pada bulan Juli lalu?  “Saya ingin mengantarkan ketiga anak saya menjadi orang-orang yang bahagia, berkarakter, dan berakhlak mulia,” tutupnya. Semoga terwujud. [Ciptanti Putri]


KACAMATA TUHAN, Sebuah film tentang interaksi manusia, makhluk hidup, dan realita lingkungan

sumber: Tits Film Workshop



KACAMATA TUHAN, film terbaru produksi Tits Film Workshop, merupakan kontinuitas program workshop “Cara Asik Bikin Film” di Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Melahirkan 4 (empat) Film berjudul: BABI HEPI (karya Aria Kusumadewa), CENDOL (karya Leony VH), TUHAN PADA JAM 10 MALAM (karya Ine Febriyanti), dan SALAH (karya Rizal Rakhmandar).

Film ini berbicara mengenai berbagai realita di dunia, dan bagaimana manusia menanggapinya. Bahkan tidak hanya manusia, hewan pun turut bereaksi terhadap kehidupan manusia. Hanya Satu yang dapat mengerti itu semua, yaitu Tuhan dengan kacamata-Nya.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ine Febriyanti : Road To Everest

Yang Terlewatkan  (arsip 2008)
arsip 13 November 2008

Seorang aktris yang mempunyai hobbi mendaki gunung dan hidup di alam bebas. Sejak umur 15 tahun sudah memiliki ambisi untuk menggapai puncak Everest.
Sempat menjadi anggota pecinta alam Heksapala dan mengikuti pendidikan Jungle Survival di Pasir Rengit selama empat hari. Sejak berumur 15 tahun sudah mempunyai ambisi untuk menggapai puncak Everest.

Pada th 1991 menjadi anggota pencinta alam HEKSAPALA, dari sanalah mulai mengenal nikmatnya mendaki gunung. Mengikuti pendidikan Jungle Survival di Pasir Rengit selama 4 hari.

Beberapa gunung yang pernah didaki diantaranya adalah Gede, Pangrango, Papandayan,Ciremai dll.
pada saat itu ine ingin sekali naik everest dan puncak2 tinggi dunia lainnya..namun karena perubahan focus, setelah lulus SMA ine intens di bidang seni, impian itu mulai memudar..tapi kok ya aneh…setelah 4 hari operasi cesar anak ketiga nya 16 tahun kemudian, ketemu sama wong edan hehe..yang cerita soal ekspedisi perempuan Indonesia ke everest, adrenalin 16 tahun yang lalu itu kembali menderas.lupa sama perut yang baru di dedel-dedel…Bismillah…ayo brangkat!!

Tuhan Pada Jam 10 Malam "Berperang Melawan Ego"

Dari Diskusi Film di Omah Sinten
arsip 28 Juli 2011


Pertengkaran antara ego yang ada di dalam diri manusia tergambar jelas dalam sajian film nonkomersial garapan Ine Febriyanti. Dalam film berjudul Tuhan Pada Jam 10 Malam tersebut, Ine seolah ingin mengatakan musuh terbesar setiap manusia adalah diri mereka sendiri.
“Ego sendiri adalah singkatan dari edging got out yang artinya mengeluarkan Tuhan dalam diri kita dan setelah itu yang muncul adalah ego. Di film ini ego muncul tepat pukul 10 malam,” papar Ine dalam pemutaran dan diskusi film Tuhan Pada Jam 10 Malam, di Omah Sinten, Rabu (27/7) malam.
Di debutnya yang pertama ini, Ine ingin memberikan gambaran nyata mengenai pergolakan batin seorang manusia. “Film ini diangkat dari cerpen berjudul Eksperimen Moral yang disodorkan oleh Arya Kusuma Dewa. Begitu membacanya saya merasa dapat feel-nya. Kemudian saya mulai menulis skripnya. Sedangkan judulnya sendiri dari Afrizal Manan,” terangnya.
Tuhan Pada Jam 10 Malam menceritakan kisah hidup Marwansikumbang, seorang guru moral yang didakwa membunuh muridnya yang bernama Anjani. Hubungan Anjani dengan istri Marwan sendiri sudah sangat dekat. Anjani bahkan sudah dianggap sebagai anak sendiri karena Marwan dan istrinya belum dikaruniai anak hingga 20 tahun pernikahan.
Petaka dimulai ketika Marwan dirongrong di kegelapan malam. Saat itu, sekitar pukul 10 malam, di kala istrinya tertidur lelap, Marwan diberondong ego yang mengoyak nuraninya. Letupan syahwat menerjang sedemikian hebat.
Sementara moral yang ada dalam batinnya berbicara agar tidak mengikuti keinginan sang ego. Namun apadaya lewat pertarungan yang cukup panjang, egolah yang menjadi pemenang. Marwan tidak saja membuat Anjani menelan pil haram, tetapi juga memperkosa dan membunuh gadis tersebut.
“Ini merupakan film yang murni mengangkat moral. Marwan sendiri, meski terlibat aksi pembunuhan, ia lolos dari jerat penjara dan masuk rumah sakit karena moral atau psikologisnya terganggu,” jelas Hanindawan, pemeran Marwansikumbang.

Rani Setianingrum















Rampung, 4 Sinopsis Film Antikorupsi


sumber: http://www.indonesiabersih.org/info-indonesia-bersih/rampung-4-sinopsis-film-antikorupsi/
arsip 27 September 2011

Empat sutradara muda baru saja merampungkan 4 sinopsis film antikorupsi. Bersama tim masing-masing, para sutradara yang terdiri dari Ine Febriyanti, Lasya F. Susatyo, Chaerunnisa dan Emil Heradi berkumpul bersama untuk membahas sinopsis-sinopsis tersebut bersama produser dan tim TI Indonesia pada Selasa [21/9] di Tjikini Cafe, Jakarta Pusat.

Sinopsis tersebut merupakan finishing touch dari proses Workshop Pengembangan Ide Cerita film Antikorupsi yang berlangsung di Kantor TI Indonesia (15-16/9) sebelumnya. Sutradara bersama scriptwriter selama 5 hari menulis ulang sejumlah masukan cerita dan gagasan antikorupsi yang berkembang.

Meskipun nantinya ada perbedaan cerita, namun pesan utama yang menjadi benang merah setiap film hanya satu. Siapapun bisa menjadi pendukung korupsi, tapi siapapun juga bisa melawannya. Setiap film nantinya perlu menunjukkan sikap optimis bahwa kita bisa melawan korupsi dan korupsi bisa diberantas.

Sudah selesai? Tentu belum. Sinopsis tersebut masih terus dikembangkan untuk menjadi skenario. Dengan skenario ini, cerita menjadi lebih utuh, lengkap dengan dialog dan gambaran adegannya. [AS]

Berita terkait:
Indenesia Bersih Gandeng Film Maker

sumber: http://cleanindonesia.blogdetik.com/
arsip 18 Agustus 2011

Film antikorupsi dapat menjadi alat kampanye yang efektif untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya korupsi. Masyarakat lebih gampang menyerap nilai-nilai korupsi melalui film atau sarana audiovisual lainnya. Demikian demikian, perlawanan publik terhadap para koruptor dapat lebih massif.
Demikian kesimpulan penting yang diperoleh dalam sharing session aktivis antikorupsi dan film maker yang berlangsung di Sekretariat TI-Indonesia, Rabu, 10/8. Turut hadir dalam acara ini sejumlah sutradara muda, Ine Febriyanti, Lasya F. Susatyo, Chaerunnisa, Emil Heradi.
“Saatnya kita mencoba pendekatan baru melalui multimedia dan audiovisual yang dirasa dapat mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan dampak dari perilaku korupsi”, ungkap Teten Masduki, selaku tuan rumah diskusi. Menurutnya, gerakan antikorupsi perlu mengajak insan film untuk berkolaborasi guna menghasilkan film antikorupsi yang berkualitas untuk publik, khususnya kaum muda.
“Kolaborasi film maker dan aktivis antikorupsi merupakan pilot project untuk mengangkat sekat-sekat gerakan sosial”, sambut Abduh Aziz mewakili film maker yang saat ini juga menjabat Direktur Program Dewan Kesenian Jakarta. “Dengan demikian, ada kesamaan langkah dan tujuan para aktor-aktor gerakan sosial di negeri ini.”
Sebelumnya Club Indonesia Bersih mengadakan lomba ide cerita untuk film antikorupsi. Hingga saat ini sudah terkumpul tidak kurang dari 150 cerita antikorupsi. Ide cerita dari pemenang lomba ini nantinya dikembangkan sebagai materi pembuatan film antikorupsi.[nf]